Analisis yuridis tentang Kompetensi absolut PHI
Oleh : Asri Wijayanti
Keberadaan
Pengadilan Hubungan Industrial yang menggantikan kedudukan Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan di Tingkat Daerah (P4D)
maupun di tingkat Pusat ( P4P ). Dasar hukum bagi P4 D / P4 P adalah UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan jo
UU No. 12 tahun 1964 tentang Pemutusan
Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta yang dianggap sudah tidak sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.
Keberadaan UU No. 2 Tahun 2004, tentang
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial (LN No. 6 TLN No. 4356) masih
menimbulkan perdebatan di masyarakat. Diantaranya mengenai kompetensi, prosedur
dan penerapan asas peradilan cepat dengan biaya murah masih diragukan. Terdapat
beberapa kepentingan dari pekerja yang belum dapat ditangani oleh Pengadilan
Hubungan Industrial.
Sampai
sekarang aksi menolak Pengadilan Hubungan Industrial hanya dilakukan sebatas
protes melalui demo, mogok. Belum ada yang mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi
berkaitan dengan adanya beberapa ketentuan Pasal dalam UU No. 2 Tahun 2004
karena bertentangan dengan UUD 1945. Diantaranya adalah yang berkaitan dengan
kompetensi Pengadilan Hubungan Industrial, yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 56
UU No. 2 Tahun 2004.
Sebelum membahas tentang kompetensi Pengadilan Hubungan Industrial, terlebih dahulu perlu diketahui apa arti kompetensi. Kompetensi berkaitan dengan kewenangan untuk mengadili persoalan tersebut. Hukum acara perdata mengenal dua macam kewenangan, yaitu :
1. Kompetensi absolut atau wewenang mutlak, dan
2. Kompetensi relatif atau wewenang relatif
Kompetensi absolut atau wewenang mutlak, adalah
menyangkut kekuasaan antar badan-badan peradilan, dilihat dari macamnya
pengadilan, menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili, dalam bahasa
Belanda disebut attributie van rechtsmachts. [1].
Kompetensi absolut atau wewenang mutlak, menjawab pertanyaan : badan peradilan
macam apa yang berwenang untuk mengadili perkara? Kompetensi relatif atau
wewenang relatif, mengatur pembagian kekuasaan mengadili antar pengadilan yang
serupa, tergantung dari tempat tinggal tergugat. Dalam hal ini diterapkan asas Actor
Sequitur Forum Rei artinya yang
berwenang adalah pengadilan negeri tempat tinggal tergugat.[2].
Kompetensi relatif atau wewenang relatif, menjawab pertanyaan : Pengadilan
Negeri mana yang berwenang untuk mengadili perkara ?
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 17 UU No. 2 Tahun 2004,
Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di
lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi
putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. Batasan penegertian
perselisihan hubungan industrial berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 No. 2
Tahun 2004, adalah
Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan
pendapat yang mengakibatkan pertentangan
antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
dalam satu perusahaan.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 56 UU No. 2 Tahun 2004, Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus :
a.
di tingkat
pertama mengenai perselisihan hak;
b.
di tingkat
pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
c.
di tingkat
pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
d.
di tingkat
pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
dalam satu perusahaan.
Selanjutnya
mengenai perselisihan hak berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 No. 2 Tahun
2004, adalah adalah perselisihan yang
timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau
penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Perselisihan kepentingan berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 No. 2 Tahun 2004,
adalah perselisihan yang timbul dalam
hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan,
dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja,
atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 1 angka 4 No. 2 Tahun 2004, adalah perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul
karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja
yang dilakukan oleh salah satu pihak.
Yang terakhir, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka
5 No. 2 Tahun 2004, perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah
perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat
pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya
persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban
keserikatpekerjaan.
Berdasarkan teori hukum, perselisihan
perburuhan ada dua yaitu : perselisihan hak dan perselisihan kepentingan. Iman
Soepomo, menyebutkan jenis perselisihan perburuhan dibedakan antara
perselisihan hak (rechtsgeshil) dan
perselisihan kepentingan (belangengeschil)[3]. Menurut
H.M. Laica Marzuki, terdapat dua macam karakteristik perselisihan yang mewarnai
kasus- kasus perburuhan, yakni :
(1). Kasus
perselisihan hak ( rechtsgeschil,
conflict of right ) yang berpaut dengan tidak adanya persesuaian yang demikian
itu, menitikberatkan aspek hukum (rechtsmatigheid)
dari permasalahan, utamanya menyangkut pencenderaan janji (wanprestasi) terhadap perjanjian kerja, suatu pelanggaran peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan.
(2). Kasus
perselisihan kepentingan ( belangeschillen,
conflict of interest) yang berpaut dengan tidak adanya persesuaian paham
mengenai syarat-syarat kerja dan / atau keadaan perburuhan, utamanya menyangkut
perbaikan ekonomis serta akomodasi kehidupan para pekerja. Perselisihan
sedemikian menitikberatkan aspek doelmatigheid
permasalahan[4]
Berkaitan
dengan adanya dua pendapat itu, maka jenis perselisihan hubungan industrial
huruf c, sebenarnya sudah termasuk di dalam rumusan perselisihan hak. Menurut Aloysius Uwiyono, dalam perselisihan
hak, hukumnya yang dilanggar, tidak dilaksanakan atau ditafsirkan secara
berbeda[5] . UU No. 2 Tahun 2004 terlalu berlebihan di
dalam merumuskan jenis perselisihan hubungan industrial.
Perselisihan PHK adalah perselisihan
yang timbul akibat dari adanya hubungan kerja, baik karena wanprestasi terhadap perjanjian kerja, atau pelanggaran peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan. Jadi
merupakan bagian dari perselisihan hak. Perumusan Pasal 56 huruf c UU No. 2 Tahun
2004 adalah berlebihan.
Perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan pada dasarnya adalah
perselisihan antar pekerja, tanpa melibatkan pengusaha. PHI adalah pengadilan
khusus yang dibentuk di lingkungan
pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi
putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. (Pasal
1 angka 17 UU No. 2 Tahun 2004).
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan : Peradilan
Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha
Negara. (Pasal 10 (1) UU No. 14 Tahun 1970). Perumusan Pasal 1 angka 17
UU No. 2 Tahun 2004 inkonsisten dengan Pasal
10 (1) UU No. 14 Tahun 1970, seharusnya di lingkungan Peradilan Umum bukan pengadilan negeri, Pelaku hubungan industrial
minimal pengusaha dengan pekerja, jadi seharusnya masuk dalam lingkup
kewenangan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum yaitu Pengadilan Negeri. Kompetensi
absolut dari Pengadilan Negeri adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama. (Pasal 50 UU No. 2 tahun
1986). Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan
adalah termasuk perkara perdata, sehingga seharusnya menjadi kewenangan
Pengadilan Negeri.
Perselisihan
kepentingan tidak mungkin dapat diselesaikan di PHI karena kewenangan PHI
adalah memeriksa, mengadili
dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. (Pasal 1 angka 17
UU No. 2 Tahun 2004). Perselisihan kepentingan
hanya dapat diselesaikan melalui jalur non
litigasi , yaitu alternative dispute resolution (ADR) yang
teridiri mediasi, konsiliasi atau
arbitrasi. Keberadaan ADR didasarkan pada paradigma untuk
menyelesaiakan persoalan bukan memenangkan perkara. Lembaga itu akan menyelesaikan dengan
mencari win-win solution dalam bentuk
kebijaksanaan. Artinya, salah satu pihak bukan bersikeras untuk memenangkan
perkaranya, tapi menyelesaikan persoalan.
Perumusan
Pasal 56 UU No. 2 Tahun 2004 berlebihan dan bertentangan dengan Pasal 24 ayat
(2) UUD 1945 jo Pasal 10 (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang lingkungan peradilan.
Pasal 24 UUD 1945 yaitu:
(1)
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
(2)
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang
Perumusan Pasal
1 angka 17 UU No. 2 Tahun 2004 tidak
tepat menyamakan Peradilan Umum dengan Pengadilan Negeri. Seharusnya PHI hanya berwenang menangani
kasus perselisihan hak saja. Perselisihan
kepentingan hanya dapat diselesaikan melalui jalur non litigasi , yaitu alternative dispute resolution (ADR)
yang terdiri mediasi, konsiliasi atau
arbitrasi, dengan mencari win-win
solution dalam bentuk kebijaksanaan. Menitikberatkan aspek doelmatigheid
permasalahan. Perselisihan PHK merupakan bagian dari perselisihan hak. Perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan pada dasarnya adalah
perselisihan antar pekerja, tanpa melibatkan pengusaha termasuk perkara
perdata, seharusnya menjadi kewenangan lingkungan Peradilan Umum yaitu
Pengadilan Negeri.
Jadi
kesalahan menerapkan teori perselisihan perburuhan ke dalam kompetensi absolut
Pengadilan Hubungan Industrial, jelas mengakibatkan pekerja tidak akan mendapat
perlindungan hukum. Pengadilan Hubungan Industrial yang diharapkan sebagai
lembaga yang ditujukan oleh Pasal 24 UUD 1945 untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan bagi pekerja tidak akan berhasil.
Hal ini seharusnya menjadi pemikiran untuk mengajukan gugat pembatalan
Pasal 56 huruf b,c,d dari UU No. 2 Tahun 2004 ke Mahkamah Konstitusi.
Daftar
Pustaka
Aloysius Uwiyono, Hak mogok di Indonesia, disertasi ,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2001.
Iman Soepomo, Pengantar
Hukum Perburuhan , Djambatan, Jakarta, 1985.
H.M. Laica Marzuki,
“ Mengenal karakteristik kasus-kasus
perburuhan “, Varia Peradilan No. 133, IKAHI, Jakarta, Oktober 1996.
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum
Acara Perdata dalam teori dan praktek, Alumni, Bandung, 1986.
[1] Retnowulan Sutantio dan
Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam teori dan praktek,
Alumni, Bandung, 1986, hal. 7.
[3] Iman Soepomo, 1985, Pengantar
Hukum Perburuhan , Djambatan, Jakarta,
hal. 97.
[4] H.M. Laica Marzuki, “ Mengenal
karakteristik kasus-kasus perburuhan “, Varia Peradilan No. 133, IKAHI, Jakarta, Oktober 1996,
hal. 151.
[5] Aloysius Uwiyono, Hak mogok
di Indonesia, disertasi
, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta, 2001.,
hal. 217.
0 komentar:
Posting Komentar