Kamis, 14 Maret 2013

ANALISIS YURUDIS TENTANG KOMPETENSI ABSOLUT PHI

Analisis yuridis tentang Kompetensi absolut PHI
Oleh : Asri Wijayanti

Keberadaan Pengadilan Hubungan Industrial yang menggantikan kedudukan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan di Tingkat Daerah (P4D)  maupun di tingkat Pusat ( P4P ). Dasar hukum bagi P4 D / P4 P  adalah UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan jo UU No. 12 tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta yang dianggap sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 
Keberadaan  UU No. 2 Tahun 2004, tentang Penyelesaian perselisihan hubungan industrial (LN No. 6 TLN No. 4356) masih menimbulkan perdebatan di masyarakat. Diantaranya mengenai kompetensi, prosedur dan penerapan asas peradilan cepat dengan biaya murah masih diragukan. Terdapat beberapa kepentingan dari pekerja yang belum dapat ditangani oleh Pengadilan Hubungan Industrial.
Sampai sekarang aksi menolak Pengadilan Hubungan Industrial hanya dilakukan sebatas protes melalui demo, mogok. Belum ada yang mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan adanya beberapa ketentuan Pasal dalam UU No. 2 Tahun 2004 karena bertentangan dengan UUD 1945. Diantaranya adalah yang berkaitan dengan kompetensi Pengadilan Hubungan Industrial, yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 56 UU No. 2 Tahun 2004.

Sebelum membahas tentang kompetensi Pengadilan Hubungan Industrial, terlebih dahulu perlu diketahui apa arti kompetensi. Kompetensi berkaitan dengan kewenangan untuk mengadili persoalan tersebut. Hukum acara perdata mengenal dua macam kewenangan, yaitu :

1.            Kompetensi absolut atau wewenang mutlak, dan

2.            Kompetensi relatif atau wewenang relatif


Kompetensi absolut atau wewenang mutlak, adalah menyangkut kekuasaan antar badan-badan peradilan, dilihat dari macamnya pengadilan, menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili, dalam bahasa Belanda disebut attributie van rechtsmachts. [1]. Kompetensi absolut atau wewenang mutlak, menjawab pertanyaan : badan peradilan macam apa yang berwenang untuk mengadili perkara? Kompetensi relatif atau wewenang relatif, mengatur pembagian kekuasaan mengadili antar pengadilan yang serupa, tergantung dari tempat tinggal tergugat. Dalam hal ini diterapkan asas Actor Sequitur Forum Rei  artinya yang berwenang adalah pengadilan negeri tempat tinggal tergugat.[2]. Kompetensi relatif atau wewenang relatif, menjawab pertanyaan : Pengadilan Negeri mana yang berwenang untuk mengadili perkara ?
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 17 UU No. 2 Tahun 2004, Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. Batasan penegertian perselisihan hubungan industrial berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 No. 2 Tahun 2004, adalah
Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.       

Berdasarkan ketentuan Pasal 56 UU No. 2 Tahun 2004, Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus :       
a.       di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
b.      di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
c.       di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
d.      di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. 

Selanjutnya mengenai perselisihan hak berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 No. 2 Tahun 2004, adalah adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Perselisihan kepentingan  berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 No. 2 Tahun 2004, adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 No. 2 Tahun 2004, adalah perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.           
Yang terakhir, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 No. 2 Tahun 2004, perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan. 
Berdasarkan teori hukum, perselisihan perburuhan ada dua yaitu : perselisihan hak dan perselisihan kepentingan. Iman Soepomo, menyebutkan jenis perselisihan perburuhan dibedakan antara perselisihan hak (rechtsgeshil) dan perselisihan kepentingan (belangengeschil)[3]. Menurut H.M. Laica Marzuki, terdapat dua macam karakteristik perselisihan yang mewarnai kasus- kasus perburuhan, yakni :
(1). Kasus perselisihan hak ( rechtsgeschil, conflict of right ) yang berpaut dengan tidak adanya persesuaian yang demikian itu, menitikberatkan aspek hukum (rechtsmatigheid) dari permasalahan, utamanya menyangkut pencenderaan janji (wanprestasi) terhadap perjanjian kerja, suatu pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
(2). Kasus perselisihan kepentingan ( belangeschillen, conflict of interest) yang berpaut dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai syarat-syarat kerja dan / atau keadaan perburuhan, utamanya menyangkut perbaikan ekonomis serta akomodasi kehidupan para pekerja. Perselisihan sedemikian menitikberatkan aspek doelmatigheid permasalahan[4]

Berkaitan dengan adanya dua pendapat itu, maka jenis perselisihan hubungan industrial huruf c, sebenarnya sudah termasuk di dalam rumusan perselisihan hak.  Menurut Aloysius Uwiyono, dalam perselisihan hak, hukumnya yang dilanggar, tidak dilaksanakan atau ditafsirkan secara berbeda[5] .  UU No. 2 Tahun 2004 terlalu berlebihan di dalam merumuskan jenis perselisihan hubungan industrial.
Perselisihan PHK adalah perselisihan yang timbul akibat dari adanya hubungan kerja, baik karena wanprestasi terhadap perjanjian kerja, atau pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Jadi  merupakan bagian dari perselisihan hak. Perumusan Pasal 56 huruf c UU No. 2 Tahun 2004 adalah berlebihan.
Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan pada dasarnya adalah perselisihan antar pekerja, tanpa melibatkan pengusaha. PHI adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.  (Pasal 1 angka 17  UU No. 2 Tahun 2004). Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan : Peradilan Umum,  Peradilan Agama,  Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara. (Pasal 10 (1) UU No. 14 Tahun 1970). Perumusan Pasal 1 angka 17  UU No. 2 Tahun 2004 inkonsisten dengan Pasal 10 (1) UU No. 14 Tahun 1970, seharusnya di lingkungan Peradilan Umum bukan pengadilan negeri, Pelaku hubungan industrial minimal pengusaha dengan pekerja, jadi seharusnya masuk dalam lingkup kewenangan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan  Umum yaitu Pengadilan Negeri. Kompetensi absolut dari Pengadilan Negeri adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama. (Pasal 50 UU No. 2 tahun 1986). Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan adalah termasuk perkara perdata, sehingga seharusnya menjadi kewenangan Pengadilan Negeri.
Perselisihan kepentingan tidak mungkin dapat diselesaikan di PHI karena kewenangan PHI adalah memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. (Pasal 1 angka 17  UU No. 2 Tahun 2004). Perselisihan kepentingan hanya dapat diselesaikan melalui jalur non litigasi , yaitu alternative dispute resolution (ADR) yang teridiri  mediasi, konsiliasi atau arbitrasi. Keberadaan ADR didasarkan pada paradigma untuk menyelesaiakan persoalan bukan memenangkan perkara.   Lembaga itu akan menyelesaikan dengan mencari win-win solution dalam bentuk kebijaksanaan. Artinya, salah satu pihak bukan bersikeras untuk memenangkan perkaranya, tapi menyelesaikan persoalan.
Perumusan Pasal 56 UU No. 2 Tahun 2004 berlebihan dan bertentangan dengan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 jo Pasal 10 (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang lingkungan peradilan. Pasal 24 UUD 1945 yaitu:
(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang

Perumusan  Pasal 1 angka 17  UU No. 2 Tahun 2004 tidak tepat menyamakan Peradilan Umum dengan Pengadilan Negeri. Seharusnya PHI hanya berwenang menangani kasus perselisihan hak saja. Perselisihan kepentingan hanya dapat diselesaikan melalui jalur non litigasi , yaitu alternative dispute resolution (ADR) yang terdiri  mediasi, konsiliasi atau arbitrasi, dengan mencari win-win solution dalam bentuk kebijaksanaan. Menitikberatkan aspek doelmatigheid permasalahan. Perselisihan PHK merupakan bagian dari perselisihan hak. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan pada dasarnya adalah perselisihan antar pekerja, tanpa melibatkan pengusaha termasuk perkara perdata, seharusnya menjadi kewenangan lingkungan Peradilan Umum yaitu Pengadilan Negeri.
Jadi kesalahan menerapkan teori perselisihan perburuhan ke dalam kompetensi absolut Pengadilan Hubungan Industrial, jelas mengakibatkan pekerja tidak akan mendapat perlindungan hukum. Pengadilan Hubungan Industrial yang diharapkan sebagai lembaga yang ditujukan oleh Pasal 24 UUD 1945 untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan bagi pekerja tidak akan berhasil. Hal ini seharusnya menjadi pemikiran untuk mengajukan gugat pembatalan Pasal 56 huruf b,c,d dari UU No. 2 Tahun 2004 ke Mahkamah Konstitusi.

Daftar Pustaka
Aloysius Uwiyono, Hak mogok di Indonesia, disertasi , Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2001.

Iman Soepomo,  Pengantar Hukum Perburuhan , Djambatan, Jakarta, 1985.

H.M. Laica Marzuki, “ Mengenal karakteristik kasus-kasus perburuhan “, Varia Peradilan No. 133, IKAHI, Jakarta, Oktober 1996.

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam teori dan praktek, Alumni, Bandung, 1986.


[1] Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam teori dan praktek, Alumni, Bandung, 1986, hal. 7.
[2] Ibid.
[3] Iman Soepomo, 1985, Pengantar Hukum Perburuhan , Djambatan, Jakarta, hal. 97.

[4] H.M. Laica Marzuki, “ Mengenal karakteristik kasus-kasus perburuhan “, Varia Peradilan No. 133, IKAHI, Jakarta, Oktober 1996, hal. 151.

[5] Aloysius Uwiyono, Hak mogok di Indonesia, disertasi , Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2001., hal. 217.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Powered by Blogger