skip to main |
skip to sidebar
22.59
Unknown
“Orang yang pandai adalah yang senantiasa mengoreksi diri dan
menyiapkan bekal kematian. Dan orang yang rendah adalah yang selalu
menurutkan hawa nafsu dan berangan-angan kepada Allah.” (At-Tirmidzi)
Maha Besar Allah Yang menghidupkan bumi setelah matinya. Air tercurah
dari langit membasahi tanah-tanah yang sebelumnya gersang. Aneka benih
kehidupan pun tumbuh dan berkembang. Sayangnya, justru manusia mematikan
sesuatu yang sebelumnya hidup.
Tanpa terasa, kita sudah begitu boros terhadap waktu.
Trend hidup saat ini memaksa siapapun untuk menatap dunia menjadi
begitu mengasyikkan. Serba mudah dan mewah. Sebuah keadaan dimana nilai
kucuran keringat tergusur dengan kelincahan jari memencet tombol. Dengan
bahasa lain, dunia menjadi begitu menerlenakan.
Tidak heran
jika gaya hidup perkotaan menggiring orang menjadi manja. Senang
bersantai dan malas kerja keras. Di suasana serba mudah itulah, waktu
menjadi begitu murah. Detik, menit, jam, hingga hari, bisa berlalu
begitu saja dalam gumulan gaya hidup santai.
Sebagai
perumpamaan, jika seseorang menyediakan kita uang sebesar 86.400 rupiah
setiap hari. Dan jika tidak habis, uang itu mesti dikembalikan; pasti
kita akan memanfaatkan uang itu buat sesuatu yang bernilai investasi.
Karena boleh jadi, kita tak punya apa-apa ketika aliran jatah itu
berhenti. Dan sangat bodoh jika dihambur-hamburkan tanpa memenuhi
kebutuhan yang bermanfaat.
Begitulah waktu. Tiap hari Allah
menyediakan kita tidak kurang dari 86.400 detik. Jika hari berganti,
berlalu pula waktu kemarin tanpa bisa mengambil waktu yang tersisa. Dan
di hari yang baru, kembali Allah sediakan jumlah waktu yang sama. Begitu
seterusnya. Hingga, tak ada lagi jatah waktu yang diberikan.
Sayangnya, tidak sedikit yang gemar membelanjakan waktu cuma buat yang
remeh-temeh. Dan penyesalan pun muncul ketika jatah waktu dicabut. Tanpa
pemberitahuan, tanpa teguran.
Allah swt. berfirman, “Telah
dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka
berada dalam kelalaian lagi berpaling (dari Allah swt.).” (Al-Anbiya’:
1)
Tanpa terasa, kita kian jauh dari keteladanan Rasul dan para sahabat.
Pergaulan hidup antar manusia memunculkan tarik-menarik pengaruh. Saat
itulah, tanpa terasa, terjadi pertukaran selera, gaya, kebiasaan, dan
perilaku. Semakin luas cakupan pergaulan, kian besar gaya tarik menarik
yang terjadi.
Masalahnya, tidak selamanya stamina seseorang
berada pada posisi prima. Kadang bisa surut. Ketika itu, ia lebih
berpeluang ditarik daripada menarik. Tanpa sadar, terjadi perembesan
pengaruh luar pada diri seseorang. Pelan tapi pasti.
Suatu
saat, orang tidak merasa berat hati melakukan perbuatan yang dulunya
pernah dibenci. Dan itu bukan lantaran keterpaksaan. Tapi, karena adanya
pelarutan dalam diri terhadap nilai-nilai yang bukan sekadar tidak
pernah dicontohkan Rasul, bahkan dilarang. Sekali lagi, pelan tapi
pasti.
Anas bin Malik pernah menyampaikan sebuah ungkapan yang
begitu dahsyat di hadapan generasi setelah para sahabat Rasul. Anas
mengatakan, “Sesungguhnya kamu kini telah melakukan beberapa amal
perbuatan yang dalam pandanganmu remeh, sekecil rambut; padahal
perbuatan itu dahulu di masa Nabi saw. kami anggap termasuk perbuatan
yang merusak agama.” (Bukhari)
Tanpa terasa, kita jadi begitu asing dengan Islam.
Pelunturan terhadap nilai yang dipegang seorang hamba Allah terjadi
tidak serentak. Tapi, begitu halus: sedikit demi sedikit. Pada saatnya,
hamba Allah ini merasa asing dengan nilai Islam itu sendiri.
Ajaran Islam tentang ukhuwah misalnya. Kebanyakan muslim paham betul
kalau orang yang beriman itu bersaudara. Saling tolong. Saling
mencintai. Dan, saling memberikan pembelaan. Tapi anehnya, justru
nilai-nilai itu menjadi tidak lumrah.
Semua pertolongan,
perlindungan, pengorbanan kerap dinilai dengan kompensasi. Ada hak, ada
kewajiban. Ada uang, ada pelayanan. Tiba-tiba seorang muslim jadi merasa
wajar hidup dalam karakter individualistik. Bahkan, tidak tertutup
kemungkinan, seorang dai merasa enggan berceramah di suatu tempat karena
nilai bayarannya kecil. Sekali lagi, tak ada uang, tak ada pelayanan.
Firman Allah swt. “Dan sesungguhnya jika Kami menghendaki, niscaya Kami
lenyapkan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, dan dengan pelenyapan
itu, kamu tidak akan mendapatkan seorang pembela pun terhadap Kami,
kecuali karena rahmat dari Tuhanmu….” (Al-Isra’: 86-87)
Tanpa terasa, kita tak lagi dekat dengan Allah swt.
Inilah sumber dari pelunturan nilai keimanan seorang hamba. Kalau orang
tak lagi dekat dengan majikannya, sulit bisa diharapkan bagus dalam
kerjanya. Kesungguhan kerjanya begitu melemah. Bahkan tak lagi punya
nilai. Asal-asalan.
Jika ini yang terus terjadi, tidak tertutup
kemungkinan, ia lupa dengan sang majikan. Ketika seorang hamba
melupakan Tuhannya, Allah akan membuat orang itu lupa terhadap diri
orangnya sendiri. Ada krisis identitas. Orang tak lagi paham, kenapa ia
hidup, dan ke arah mana langkahnya berakhir.
Maha Benar Allah
dalam firman-Nya, “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa
kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka
sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr: 19)
Repost From ⇉ Blog Bahagia Dunia Akhirat.com
0 komentar:
Posting Komentar